PROPOSAL
REGISTER BAHASA MBOJO DALAM KOMUNITAS NELAYAN DESA JALA KECAMATAN
HU,U KABUPATEN DOMPU
Diajukan
sebagai salah satu syarat untuk penulisan Skripsi Sarjana
Strata
Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra, dan Daerah
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Muhammadiyah Mataram
SYAM SOFYAN
NIM: 11311B0005P
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA, DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MATARAM
2016
BABA I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini,
register mulai banyak berkembang di berbagai komunitas. Misalnya, komunitas
anak muda yang memiliki register yang mereka gunakan hanya pada komunitasnya
saja. Bahasa tersebut bisa di kenal sebagai “bahasa gaul” contohnya nomina “kamu”
menjadi “lo” dalam kalimat “kamu mau
pergi kemanan?” menjadi “lo mau ke
mana?”.
Bukan
hanya pada komunitas anak muda saja tetapi hamper semua komunitas memiliki
register yang mereka gunakan khusus hanya pada komunitasnya saja, seperti
komunitas ibu ibu arisan yang
biasanya salingmemanggil dengan sebutan “jeng”
untuk mengganti kata sapaan “ibu”,
misalnya, “ibu muji menjadi “jeng muji”. Pangilan
tersebut juga hanya digunakan pada komunitas ibu-ibu arisan saja, di luar itu ,
para ibu-ibu biasa menggunakan sapaan sehari-hari.
Register
semakin hari semakin berkembang dan salah satu faktor yaitu penyebabnya yaitu
lingkungan sekitar. Seperti halnya para remaja yang satu dengan yang lain,
terkadang bahasa yang mereka gunakan berbeda-beda meskipun merekan berada dalam
satu lingkungan sekolah. Ternya mereka memiliki kelompok teman atau yang biasa mereka sebut sebagai geng
yang berbeda. Antara geng yang satu dengan
lainya biasanya memiliki bahasa khas mereka
masing-masing. Misalnya geng keciput
yang biasanya memanggil teman-teman gengnya dengan panggilan ciput, seperti yang terdapat dalam
kalimat ciput mau kemana? Mereka tidak menyapa teman satu gengnya. Akan tetapi
mereka akan menyapa seperti biasanya pada teman-temanya yang di luar geng
mereka. Berbeda lagi dengan geng the baby,
misalnya baby, kita makan di KFC
ayo?. Jelas terlihat bahwa lingkungan penutur mampu mempengaruhi bahasa yang
digunakannya, seperti yang terjadi dalam kedua geng di atas.
Register
juga terdapat pada komunitas para nelayan. Pada komunitas nelayan, perbedaan
bahasa tidak jauh berbeda dengan komunitas lainya, sama-sama memiliki bahasa
khusus dalam komunitasnya (Halliday, 1994). Dalam kegiatan nelayan, tidak
jarang kita menemukan kata-kata yang tidak terdapat dalam tuturan sehari-hari
atau bahkan ada kata-kata yang sama tetapi maknanya berbeda. Hal itu terjadi
karna pengaruh aktivitas nelayan tersebut. Secara otomatis mereka akan memahami
makna kata yang digunakan dalam komunitasnya, hal tersebut disebabkan oleh
adanya kebiasaan, sehingga terbentuklah konsep bersama tentang suatu kata.
Selain itu dalam komunitas nelaya, intonasi atau irama yang digunakan cenderung
keras karena mereka berada di pesisir pantai yang ombaknya di pengaruhi suara.
Secara tidak langsung, suara-suara ombak tersebut akan menghalangi penerima
pesan dalam mendengarkan pesan yang disampaikan, sehingga suara keras yang
digunakan tidak berarti bahwa nelayan adalah orang-orang karakteristik kasar.
Hanya saja, lingkunganlah yang menuntut mereka dalam mengunakan volume suara
yang keras agar proses komunitas tetapa lancar.
Peneliti
mengangkat permasalahan ini, karena cukup ini terlihat pada kata-kata yang
digunakan dalam komunitas. Seperti pada contoh data mbei ja utareni artinya meminta ikan, ta lao nga wi
maknanya kita pergi memancing ikan di Desa Jala berbeda dengan di Desa Hu,u
Kecamatan Hu,u. Di Desa Jala meminta ikan adalah mbei ja uta reni sedangkan di Desa Hu,u meminta ikan dalam basa
mbojo adalah be si uta re da nada beberapa bahasa nelayan yang dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ‘pani’ artinya ‘umpan’, potas
artinya‘racun’, mimi artinya ‘tenggelam’, data-data rersebut menarik Perhatian
Peneliti untuk meneliti bahasa tersebut dan menjadikan objek dalam penelitian
yang register bahasa Mbojo dalam komunitas nelayan Desa Jala Kecamatan Hu,u
Kabupaten Dompu. Register bahasa mbojo komunitas nelayan ini belum banyak yang
meneliti. Karena peneliti juga warga asli dompu, peneliti merasa berkewajiban mengangkat
register bahasa Mbojo komunitas nelayan ini untuk dilestarikan. Tidak hanya
itu, dengan mengkaji register bahasa mbojo komunitas nelayan tersebut, tentu
akan mudah membuka wawasan terhadap perkembangan bahasa daerah, khususnya
bahasa Mbojo yang memang memiliki berbagai macam dialek yang dapat ditemukan di
Dompu dan Bima.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
paparan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian bagaimanakah
register bahasa Mbojo dalam komunitas Nelayan di Desa Jala Kecamatan Hu,u
Kabupaten Dompu. Permasalahn tersebut di rinci menjadi beberapa pertanyaan
berikut ini :
1.
Register bahasa Mbojo dalam komunitas
nelayan Desa Jala Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu;
2.
Register bahasa mbojo dalam komunitas
nelayan Desa Jala Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini tersebut ialah untuk mengatahui dan
mendeskripsikan register bahasa Mbojo dalam komunitas nelayan di Desa Jala
Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu. Secara khusus peneliti mengajikan tujuan di bawah ini ;
1.
Mendeskripsikan bentuk register bahasa
Mbojo dalam komunitas nelaya Desa Jala Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu;
2.
Mendeskripsikan register bahasa Mbojo
dalam komunitas nelaya Desa Jala Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat mengembangkan
ilmu register bahasa Mbojo komunitas nelayan. Selai itu, hasil penelitian ini
dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang
akan meneliti mengenai register bahasa Mbojo komunitas nelayan.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi masyarakat agar mengetahui bentuk-bentuk register bahasa Mbojo
komunitas nelayan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA DAN LANTASAN TEORI
2.1 Tinjauaan Pustaka
Peneliti yang
mengkaji tentang register bahasa sudah cukup banyak dilakukan, di antara
dilakukan oleh Hollyusa Andini (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Ragam
Bahasa gaul Di kalangan Remaja daerah Praya Lombok tengah” andini membahasas
bagaimana bentuk atau ragam bahasa gaul yang digunakan oleh remaja di kota
praya, Lomboh Tengah menggunbakan ragam bahasa gaul. Metode yang digunakan
remaja, bentuk bahasa gaul berbentuk katam frasa kalimat, singkatan, dan
akronomi.
Peneliti di atas dapat diketahui bahwav
andini dan peneliti mempunyai persamaan dan perbedaan dalam penelitiannya.
Dalam rumusan masalah andini dan peneliti mempunyai permasalah yaitu sama-sama
meneliti bentuk bahasa dan perbedaannya yaitu andini meneliti penyebab
terjadinya bahasa gaul di kalangan remaja Praya Lombok tengah, sedangkan
peneliti meneliti bagaimanakah fungsi register bahasa Mbojo dalam komunitas
nelayan Desa Jala Kecamatan Hu,u Kabupaten Dompu. Hasil penelitian Andini
adalah berbentuk kata, frase, kalimat, singkatan, dan akronim sedangkanpeneliti
bentuk (kata dan frase) dan fungsi (instrumental dan Pemecahan Masalah atau
Heuristik). Metode yang digunakan Andini dan peneliti hamper sama yaitu
menggunakan metode simak dan instrospeksi.
Selanjutnya penelitiannya Dela Andriani (2012), yang berjudul
“Kajian Bentuk Pemakaian Kosakata Bahasa Gaul Pada Komunitas Motor Mio di
Mataram dan hubungannya dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP ” Tujuan
penelitian ini mengetahui bentuk kosakata bahasa gaul yang digunakan dalam
komunitas, mentahui fungsi penggunaan kosakata bahasa gaul, dan hubungan
pemakaian kosakata bahasa gaul dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMP.
Hasil penelitian ini adalah bentuk kata olokan atau ejekan yang bertujuan untuk
bercanda dengan yang lain dengandalam satu komunitas (mempererat hubungan
emosional) untuk saling menghibur, dam secara umum tujuan dari bahasa gaul adalah
untuk menyembunyikan maksud dan pembicaraan dari orang yang di luar komunitas.
Bentuk penelitian yang terdapat dalam komunitas tersebut adalah bentuk
kosakata, frase, ankronomi, singkatan dan campur kode. Metode yang digunakan
adalah simak, dan wawancara.
Penelitian yang
dilakukan Dela dan meneliti sama-sama bentuk bahasa dalam komunitas tetapi
objek kajiannya tidak sama, Dela meneliti bahasa gaul komunitas Motor Mio di
Mataram dan Hubunganya dengan Pembelajaranya bahasa Indonesia Smp, sedangkan
peneliti register bahasa Mbojo dalam komunitas nelayan di Desa Jala Kecamatan
Hu,u Kabupaten Dompu. Hasil penelitian yang dilakukan dea adalah bentuk
kosakata, frase, akronim, singkatandan campur kode. Sedangkanpenelitian bentuk
(kata dan frase) dan fungsi (instrumental dan pemecahan masalah atau
Heuristik).
Berikut ini juga penelitian Herna Hidayati (2012),
yang berjudul “Variasi Bahasa Sasak di desa kuripan Selatan Lombok Barat Dan
Implikasinya terhadap Sosial Kemasyarakatan” herna membahas dialek yang
ditemukan di dalam bahasa sasak di desa kuripan selatan dan pengaruh perbedaan
dialek bahasa sask terhadap kehidupan sosial kemasyarakat. Tujuan penelitian
adalah untuk mendeskripsikan dialek bahasa Sasak di Desa Kuripan selatan dan
pengarauh yang timbul akibat perbedaan dialek bahasa Sasak terhadap kehidupan
sosial bermasyarakt di Desa Kuripan Selatan Lobar. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Hasil penelitian ini
ditemukan 38 kata yang berbeda dalam tulisan fonetik ataupun pengucapannya,
misalnya pada kata [amaq] menjadi [emiq] dari dialek a dari dialek menjadi e sehingga
pengucapannya lebih ke dialek meriaq merinqu.
Dari penelitian diatas dapat di ketahui bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Herna dan Peneliti mempunyai kesamaan dan
perbedaan dalam meneliti suatu bahasa, dapat
terlihat dari metode yang digunakan dengan peneliti sama-sama
menggunakan metode cakap dan metode simak, sedangkan hasil penelitiannya
berbeda Herna menemukan kata yang berbeda dalam penulisan fonetiksedangkan
peneliti, meneliti bentuk dan fungsi register baahasa Sasak dalam komunitas
nelayan.
Terakhir
peneliti tentang variasi bahasa di tulis oleh Samsul Bahri (2005) yang berjudul
“Variasi Bahasa Sasak Pada Masyarakat Nelayan Dusun Gili Menu Dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa Daerah Untuk Muatan Lokal Disekolah”. Tujuan
peneliti ini adalah mengklasifikasikan dan mendeskripsikan bentuk variasi
bahasa pada masyarakat nelayan di Dusun Gili Meno dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa sastra daerah untuk muatan lokal di sekolah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, metode cakap (wawancara)
dengan informan, dan metode intropektif (intuisi kebahasaan). Sementara itu
metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam metode intralingua dan
metode padan ekstralingual. Kemudian yang terakhir metode yang digunakan dalam
menyajikan hasil analisis data berupa variasi bahasa nelayan dan implikasi
terhadap bahan ajar bahasa daerah untuk muatan lokal sekolah.
Samsul dan peneliti
sama-sama meneliti bahasa nelayan, akan tetapidaerah penelitiannya tidak sama,
Samsul meneliti variasi bahasa nelayan di Gili Meno sedangkan peneliti meneliti
di Kecamatan Hu,u. Dari segi metode yang digunakan sama, tetapi dalam
menganalisis data peneliti hanya menggunakan metode pada yang intalinguan sedangkan Samsul menggunakana
metode pada intralingual dan eksralingual. Dari segi hasil penelitian yang
diperoleh Samsul dan penelitian hampir sama, Samsul dalam penelitiannya adalah
bentuk-bentuk variasi bahasa nelayan dan implikasinya terhadap bahan ajar
daerah muatan lokal di sekolah sedangkan peneliti adalah bentuk-bentuk dan
fungsi register bahasa komunitas nelayan.
Dari beberapa penelitian yang disajikan dapat disimpulkan bahwa
semua peneliti tersebut masih membutuhkan penelitian lebih dalam, sehingga
peneliti mengkaji variasi bahasa dari segi bentuk dan fungsi selain itu objek
dari penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya mengkaji variasi bahasa.
Komunitas Nelayan Desa Jala, sebagai bentuk perlengkapan atas peneliti-peneliti
sebelumnya.
2.2 Landasan Teori
2.2.1
Register
Register
merupakan bagian dari variasi bahasa itu sendiri, berikut dibawah ini akan di
jelaskan register menurup para ahli. Register menurut Halliday (1994:53)
merupakan suatu konsep sematik, yang didefinisikan sebagai suatu susunan makna
yang dihubungkan secara khusus dengan susunan situasi tertentu dari medan,
pelibat, dan sarana. Akan tetapi, karena merupakan susnan makna-makna dalam
register termasuk juga ungkapan, yaitu ciri leksikol-gramatis dan fonologis,
yang secara khusus menyertai atau menyatakan makna-makna ini. biasanya dijumpai
register tertentu, atau abahkan petanda fonologis yang memiliki fungsi untuk
memberikan tanda kepada para pelaku bahwa inilah register yang dimaksud.
Seperti contoh pada
zaman dahulu kala. “Pada zaman dahulu kala” merupakan ciri penunjuk yang
berfungsi memberi tanda bahwa sekarang kita sedang nmendengarkan cerita
tradisional. Selanjutnya Register merupakan Abdul chaer dan agustina (2003)
marupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya sifat-sifat khas keperluan
pemakaiaan, misalnya bahasa tulisan yang terdapat bahasa iklan, bahasa tunjuk,
bahasa artikel, dan sebagainya. variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim di
sebut register. Terakhir menurut Kridalaksana (dalam Purwanto, 2002), register
secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan
penggunaanya. Register atau salang dalam bahasa inggris merupan ragam bahasa
tidak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial
tertentu untuk komunitas intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain
tidak mengerti ; berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah.
2.2.2
Variasi
Bahasa
Adapun
beberapa variasi bahasa menurut para ahli diantaranya senagai berikut :
Menurut Keraf
(1984:143) variasi bahasa dapat berwujud perubah ucapan seseorang dari saat
kesaat maupun perbedaan yang terdapat dari suatu tempat ke tempat lain.
Ferguson dan Gomperz (dalam Haryanto, 19996/1997:90) mengatakan variasi bahasa
adalah pola ujar kelompok pemakai bahasa yang secara memadai cukup homogeny
untuk dianalisis untuk menggunakan teknik deskriptif sinkronis yang ada pada
pola-pola ajaranya secara luas untuk dapat berfungsidalam segala konteks
komunikasi secara formal.
Nabata (1991:13) variasi bahasa timbul karena adanya: (a)
daerah yang berlainan, (b) kelompok atau keadaan sosial yang berbeda, (c)
situasi dan tingkat formalitas yang berlaianan, (d) tahun atau jama yang
berlainan. Pateda (1991:52) variasi dapat dilihat dari: (a) tempat, (b) waktu,
(c) pemakai, (d) situasi, (e) dialek, (f) status, (g) pemakaianya. Hartman dan
stork dalam Abdul Chaer dan Agustina (2010:62) variasi bahasa merupaka akibat
dari adanya keragaman sosialdan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang terdapat pada masyarakat tutur
(Kridalaksana, 1974: 134) .
Soeparno dalam dasar-dasar linguistic (2003 :55-61)
mengemukakan bahwa variasi bahasa terdiri dari variasi kronologis, variasi
geografis, variasi sosial, variasi fungsional, variasi gaya/style, variasi
kultura dab variasi individual. Suwito (1982-104) menyatakan, baahwa variasi
bahasa timbul karena penutur mengatahui akan adanya alat komunikasi yang sesuai
dengan situasi dan konteks sosial. Chaer dan Agustina (2014) mengatakan bahwa
variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial
penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Pateda (dalam chaer 1988:52)
menjelaskan bahwa ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola
bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan
pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk
berkomunikasi.
Menurut Halliday, variasi bahasa dibedakan berdasarkan (a)
pamakai, yang dimaksud dialek, dan (b) pemakai
yang disebut register. Menurut Mc david (1969), variasi bahasa dibedakan
berdasarkan (a) dimensi regional, (b) dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal.
Ragam bahasa dapat dikenali dari golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaiaannya
(Alwi,dkk.,2003:3) Aslindgf (2007:17) menyatakan variasi bahasa adalah
bentuk-bentuk bagian variasi bahasa dalam bahasa yang masing-masing memiliki
pola yang menyerupai pola bahasa induksinya.
2.2.3
Variasi
Sosial
Paparan
teori dari beberapa ahli peneliti hanya menggunakan teori Abdul Chaer dan
Leonir Agustina (2010:62), yaitu sosiolek. Adapun alas an peneliti memiliki
teori tersebut karena teori ini sesuai dengan data yang peneliti ambil.
Diharapkan dengan teori ini mampu menguraikan bentuk variasi-varia data dengan
tepat.
Menurut
Abdul Chaer dan Leonie agustina (2010 : 62), sosiolek merupakan bagian dari
“variasi bahasa dari segi penutur” selain idiolek, dialek, kronolek. Sosiolek
biasa disebut juga dengan dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan
dengan status dan kelas sosial para penuturnya. Karena variasi ini menyangkut
semua maslah pribadi para penutunya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan,
tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Berdasarkan
usia, dapat dilihat perbedaan
diantara variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang
dewasa, dan orang tergolong lansia. Jika diperhatikan bahasa yang mereka
gunakan, pasti dapat dilihat perbedaanya, bukan berkenaan dengan isinya (isi
pembicaraan), melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan juga
kosakata, pelafalan, morfologi, dan juga sintaksis.
Berdasarkan
seks (jenis kelamin) penutur dapat dilihat adanya dua jenis variasi
bahasa, yaitu diperhatikan antara percakapan sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu.
Lalu dibandingkan yang dilakukan anatara kelompok mahasiswa atau bapak-bapak.
Maka, dapat dilihat perbedaan variasi anatara keduanya.
Berdasarkan
profesi, pekerjaan, atau tugas para penutur variasi bahasa berdasarkan profesi
adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas
para penguna bahasa tersebut. Tiap-tiap pekerjaan memiliki registernya
masing-masing. Dokter, pilot, manager bank,pedagang, sopir angkot, musisi, atau
bahkan mereka yang bekerja dakam dunia prostitusi memiliki register
masing-masing.
Berdasarkan
perbedaan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para penutur dapat juga
menyebabkan adanya variasi sosial. Jika diperhatikan “bahasa” para buruh atau
tukang, pedagang keci, pengemudi kendaraan umum, para guru, para mubaliq, dan
para pengusaha, maka kita dapat pula melihat perbedaan variasi bahasanya.
Perbedaan bahasa mereka terutama pada lingkungan tugas mereka dan apa yang
mereka kerjakan. Perbedaan variasin bahasa mereka terutama tampak pada bidang
kosakata yang mereka gunakan. Berdasarkan tingkat-tingkat kebangsawanan dapat
pula variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat kebangsawanan itu, Bahasa
jawa, bahasa bali, bahasa sunda mengenai variasi kebangsawanan ini, tetapi
bahasa Indonesia tidak.
Berdasarkan
keadaan sosial ekonomi para penutur, dapat
juga menyebabkan adanya variasi bahasa, perbedaan kelompok masyarakat
berdasarkan status sosial ekonomi ini tidak sama dengan perbedaan berdasarkan
tingkat kebangsawanan, sebab dalam zaman modern ini memperoleh status sosial
yang tinggi tidak lagi identik status kebangsawanan yang tinggi tetapi tidak
miliki status sosial ekonomi yang tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit yang tidak
berketurunan bagsawan tetapi kini memiliki status sosial ekonomi yang tinggi.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan, antara lai oleh Labov, menunjukan
adanya variasi bahasa berkenaan dengan status sosial. Ekonomi ini. malah telah
dibuktikan pula adanya korelasi antara tingkat sosial ekonomi itu dengan
tingkat penguasaan bahasa.
2.2.4
Bentuk
Kebahasaan
Bentuk
menurut Kridalaksana (2001:28) adalah penampakan atau rupa satuan bahasa;
penampakan atau satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau
grafemis. Satuan bahasa dapat berupa kata, frasa, klausa dan kalimat serta yang
tertinggi adalah wacana, namun dalam kajian inferensi satuan bahasa tersebut
merupakan bentuk yang membingkai pesan atau mengandung informasi yang
disembunyikan atau informasi yang itu
tidak secara langsung dinyatakan (inferensi) dalam wacana yang pemahamannya
tidak terlepas dari konteks yang menyertainya karena satuan bahasa yang berupa
kata, frasa, klausa, atau satuan kalimat pun yang mengandung inferensi
berpotensi menyampaikan makna atau informasi dalam wacana disebabkan karena
keberdayaan konteks yang menyertainya tersebut. Bentuk kebahasaan dalam variasi
bahasa Mbojo dalam komunitas di anataranya yaitu kata dan frasa. Berikut
dibawah ini akan di paparkan pengertian kata dan frasa.
2.2.3.1 Kata
Kata ialah satuan bebas yang paling
kecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata (Ramlan,
2001:33). Sebagai satuan terbesar dalam tataran morfologi, kta dibentuk dari
bentuk dasar (yang dapat berupa morfem dasar terikat maupun bebas, atau
gabungan morfem) melalui proses morfologi afiksasi, reduplikasi, atau
komposisi. Bentuk-bentuk kata yang terdapat dalam sumber data yaitu, bentuk
kata dasar dan kata berimbuhan.
a.
Kata
Dasar
Bentuk
Dasar/tunggal merupakan satuan gramatik yang tidak terdiri dari satuan yang
lebih kecil lagi (Ramlam, 1987: 28). Menurut Keraf (1994:44) bentuk dasar
merupakan merupakan satuan bahasa yang belum mendapatkan imbuhan.
b.
Kata
Berimbuhan
Kata
yang mengalami proses afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi adalah proses pembentukan
kata kompleks dengan cara penambahan afikspada bentuk dasar (Soeparno, 2002:
95). Afiksasi yang terdiri atas prefiks atau awalan, sufiks atau akhiran,
infiks atau sisipan, dan konfiks yaitu gabungan prefix dan sufiks. Misalnya
saja kata pemotretan. Kosakata
tersebut mempunyai awalan pen- dan
akhiran –an. Reduplikasi adalah
pengulangan bentuk dasar, bisa sebagian maupun secara keseluruhan. Reduplikasi
adalah proses pembentukan kata kompleks pengulangan morfem secara persial (Soeparno,
2002:95).
2.2.3.2 Frasa
Farasa
adalah kelompok kata (Sukini, 2010:19). Kemudian menurutRamlan (1987:151),
frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata lebih yang tidak
melampui batas kata unsur klausa. Maksunya gabungan dua kata atau lebih itu
tidak melampui fungsi S (subjek), atau fungsi P (predikat). Sedangkan menurut
Ramlan sama dengan Kridalaksana (1983:46), cook (melalui Taringan, 1985:50),
dan Samsuri (melaui Arifin, 2008:18) yang menyatakan bahwa frasa frasa adalah
satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dengan kata yang sifatnya tidak
predikatif atau nonpredikatif. Dari batasan-batasan di atas dapat diketahui
bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu :
a) Merupakan
satuan gramatikal yang terdiri dari atas dua kata atau lebih.
b) Satuan
gramatikal itu tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksunya frasa itu
selalu terdapat dalam satuan fungsi unsur klausa.
Berdasarkan distribusi
unsurnya frasa terdiri dari dua unsur, yaitu,: frasa endosentrik dan frasa
eksosentrik.
1.
Endosentrik
Frasa endosentrik
adalah frasa yang distribusinya sama dengan salah satu atau semua unsurnya.
Frasa endosentrik meliputi macam frasa, anatara lain:
a. Frasa
endosentrik koordinatif, merupakan frasa yang dihubungkan dengan kata ‘dan’ dan
‘atau’
b. Frasa
endosentrik atributif, frasa ini terdiri atas unsur-unsur yang tidak setara.
c. Frasa
endosentrik apositif, merupakan frasa endosentrik yang mempunyai makna sama
dengan unsur yang lain. Unsur yang dipentingkan merupakan unsur pusat.
2.
Eksosentrik
Frasa eksosentrik
adalah farasa yang jika salah satu komponenya dihilangkan, akan menyebabkan
frasa itu tidak baik.
2.2.4
Fungsi
Menurut Kridalaksana (dalam
Purwanto, 2002), register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi
bahasa berdasarkan penggunaanya. Seperti telah dipaparkan diatas bahwa register
merupakan bagian dari variasi bahasa. Untuk menganalisis fungsi variasi bahasa
makna,digunakan fungsi register sebagaimana pendapat Halliday (dalam Nababan,
19985 : 42) yang menyebutkan fungsi register antara lain :
1.
Fungsi Instrumental
Yaitu bahasa yang
berorientasi pada pendengar atau lawan tutur. Bahasa yang digunakan untuk
mengatur tingkah laku pendengar sehingga lawan tutur mau menuruti atau
mengikuti apa yang diharapkan penutur atau peneliti. Hal ini dapat dilakukan
oleh penutur atau peneliti dengan menggunakan ungkapan-ungkapann yang
menyatakan permintaan, himbauan, atau rayuan.
2.
Fungsi Interaksiyaitu fungsi bahasa yang
berorientasi pada kontak anatara lain pihak yang sedang berkomunikasi. Register
dalam hal ini berfungsi untuk menjalin dan memelihara hubungan serta
memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan
yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa,
berkenalan, menanyakan keadaan, meminta pamit, dan lain sebagainya.
3.
Fungsi Kepribadian atau Personal
Yaitu fungsi bahasa
yang berorientasi pada penutur. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.
4.
Fungsi Pemecah Masalah atau Heuristik
Yaiu fungsi pemakaian bahasa yang terdapat dalam
ungkapan yang meminta, menurut, atau menyatakan suatu jawaban terhadap masalah
atau persoalan. Bahasa yang digunakan
biasanya sebagai alat untuk mempelajari segala hal, menyelidiki
realitas, mencari fakta, dan penjelasan. Ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam
fungsi ini berupa suatu pertanyaan yang menuntut penjelasanatau penjabaran.
5.
Fungsi Hayal atau Imajinasi
Yaitu fungsi pemakaian
bahasa yang berorientasi pada amanat atau maksud yang akan disampaikan.bahasa
dalam fungsi ini digunakan untuk mengugkapkan dan menyampaikan pikiran atau
gagasan dan perasaan penutur atau peneliti
6.
Fungsi Informasi
Yaitu pemakaian bahasa
yang berfungsi sebagai alat untuk memberi suatuberita atau informasi supaya
dapat diketahui orang lain.
2.2.5
Komunitas
Nelayan
beberapa definisi
komunitas nelayan menurut para ahli sebagai berikut;
Menurut Hermanto (1986:23), nelayan
adalah orang yang melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan di laut,
termasuk ahli mesin, ahli lampu, dan juru masak yang bekerja diatas kapal
penangkapan ikan serta nereka yang secara tidak langsungikut melakukan kegiatan
operasi penangkapan seperi juragan. Nelayan Juragan adalah nelayan yang
memiliki kapal berikut mesin dan alat tangkapnya melainkan mempekerjakan
nelayan lain seperti nelayan nahkoda dan pandega Nelayan pandega adalah nelayan
yang merahi tanggung jawab untuk mengelola dan merawat alat tangkap milik
nelayan juragan.
`Adapun menurut Hermanto (1986: 23)
nelayan dibedakan statusnya dalam usaha penangkapan ikan. Statusnya nelayan tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Juragan
darat, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tangkap ikan tetapi dia tidak
ikut dalam operasi penangkapan ikan ke laut. Juragan darat menangung semua
biaya operasi penangkapan.
b. Juragan
laut, yaitu orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap ikan tetapi dia
ikut bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan dilaut.
c. Juragan
darat-laut, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tangkap ikan serta ikut
dalam operasi penangkapan ikan laut. Mereka menerima bagi hasil sebagai pemilik
unik penangkapan.
d. Buruh
atau pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya
berfungsi sebagai anak buah kapal. Buruh atau pandega pada umunya menerima bagi
hasil tangkapan dan jarang diberi upah harian.
Selanjutnya menurut Soekanto (1997),
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja cukup
lamat sehingga mereka dapat menggatur
diri mereka sendiri dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan
sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Karakteristik
masyarakat nelayan merupakan kebanyakan yang kemarginalannya tidak jauh berada
dengan petani miskin di Indonesia, karakteristik umum yang ditemui pada
masyarakat nelayan antara lain: lingkungan tempat tinggal padat dan berlokasi
ke arah tepi pantai, kondisi rumah seadanya, tingkat pendidikan nelayan dan
anak-anak relative rendah, serta sarana penangkapan ikan semakin rendah, serta
sarana penangkapan ikan semakin rendah (Mubyarto, et.al 1994). Nelayan adalah
suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil
laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau budi daya. Mereka pada
umumnya tinggal di penggir pantai, sebuanh lingkungan permukiman yang dekat
dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Menurut Imron (2003) nelayan bukanlah
etnis tunggal, mereka terdiri dari beberapa dari kelompok, yaitu :
a. Nelayan
buruh, adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain;
b. Nelayan
juragan, adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang
lain;
c. Nelayan
perorangan, adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam
pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini bukanlah penelitian yang akan menyajikan angka-angka ataupun rumus-rumus,
melainkan berbeentuk uraian, kata-kata atau kalimat. Oleh karena itu,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
yaitu pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 2010;4). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
kata-kata bukan angka atau perhitungan yang akan di cari hasilnya melainkan
kata-kata yang digunakan dalam komunitas nelayan.
3.2 Informan
Dalam melakukan penelitian,informan
sangat penting sebagai objek penelitian. Oleh karena itu menurut Mahsun
(2013:31) informan merupak sampel penutur atau orang yang ditentukan di wilayah
pakai varian bahasa tertentu sebagai narasumber bahan penelitian, pemberi
informasi, dan pembantu peneliti dalam tahap penyediaan data. Selai itu menurut
Sugiono (2009:221), penemuan sampel atau informan dalam penelitian ini
kualitatifberfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum. Oleh karena itu,
orang yang dijadikan informan sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. sehat
jasmani dan rohani,
b. penduduk
asli Desa Jala,
c. laki-laki
berusia 35-55 tahun,
d. bekerja
sebagai nelayan minimal 10 tahun;
e. menggunakan
bahasa Mbojo sebagai bahasa sehari-hari
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data,
digunakan dua metode yaitu metode simak, dan metode wawancara. Kedua metode ini
akan dijabarkan secara terperinci di bawah ini.
3.3.1 Metode Simak
Menurut
Mahsun (2013:92) metode simak merupakan, cara yang digunakan untuk memperoleh
data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam penelitian ini peneliti
menggunaka teknik sadap. Teknik sadap merupakan teknik dasar dalam metode simak
karena pada hakikatnya penyimakan diwujutkan dengan penyadapan penggunaan
bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan, Mahsun (2013:92).
Teknik lanjutan yang digunakan dalam metode ini teknik simak libat cakap.
Teknik simak libat cakap merupakan peneliti merupakan penyadapan itu dengan
cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, menyimak
pembicaraa. Dalam hal ini peneliti terlibat langsung dalam dialog, Mahsun
(2013:93).
3.3.2 Metode Wawancara
Metode wawancara disebut juga metode
cakap, yang merupakan metode pengumpulan data dengan cara percakapan antara
peneliti dan informan, dengan melakukan kontak antar mereka secara lisan.
Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan
yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul
jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan atau stimulasi itu
dapat berupa bentuk atau makna-makna yang biasanya tersusun dalam bentuk daftar
pertanyaan (Mahsun, 2011:95-96). Teknik pancing dilakukan oleh peneliti untuk
memperoleh data lebih detail, sehingga peneliti dapat dengan mudah menggumpulkan
data.
Metode ini digunakan untuk
memperoleh informasi data yang dijadikan objek penelitian dari berbagai
informan yakni para nelayan pada komunitas nelayan. Hasil dari wawancara ini
digunakan untuk sebagai bahan isisbentuk dan fungsi bahasa nelayan dalam
komunitas nelayan.
3.3.3 Metode Introspektif
Selain metode simak, metode
introspektif dapat digunakan dalam pengumpulan data. Menurut Sudaryanto (1993a
dan 1993b) metode ini sebagai analisis data, yang disebutnya sebagai metode
refleksif-introspektif, upaya membuatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya,
secara optimal, peneliti sebagai penutur bahasa tanpa meleburlenyapkan peran
kepenelitian metode ini dimaksudkansebagai upaya menguak identitas sosok
pembentukan dan yang dapat memungkinkan orang menetukan secara seksama satuan
lingua tertentu yang statuskesatuan-lingualnya belum jelas, seperti wacana
(Sudaryanto, 1993b). metode introspektif adalah metode penyediaan data dengan
memanfaatkan inttuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasai
(bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi analisis sesuai
dengan tujuan penelitiannya. Pandanagan ini sejalan dengan pandangan Botha
(1981) dan bandingkan dengan Kibrik (1977) yang mengklasifikasikan data atas
dua lategori, yaitu data introspektif dan data informan. Data
introspektifmerupakan data yang berupa putusan linguistic yang berasal dari
penutur asli yang sudah terlihat secara linguistik. Penutur asli yang dimaksud
tidak lain adalah peneliti itu sendiri, yang memiliki kompetensi linguistik
bahasa sasaran. Adapun dikatakanynya sebagai data introspektif, karena memang
kemunculan data tersebut didasarkan pada upaya intropeksi intuisi linguistic
penelitinya terhadap kompetensi linguistik yang dikuasainnya; sedangkan data
informan merupakan data yang berupa putusan linguistik dan diperoleh dari
penutur asli tidak terlatih (Botha, 1997).
3.3.4 Metode dan Teknik Analisis
Data
Untuk memudahkan peneliti dalam
menentukan langkag-langkah menganalisis data, Metode yang dapat digunakan oleh
penulis yaitu metode badan intralingual dan distribusional.
3.4.1 Metode Padan Intralingual
Metode padan intralingual merupakan metode
analisis data yang dilakukan dengan menghubungkan unsur-unsur yang bersifat
lingual, baik yang terdapat dalam suatu bahasa maupun dalam beberapa bahasa
yang berbeda (Mahsun, 2011:256). Proses
analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh hasil dari
wawancara kemudian mengelompokan jenis-jenis data yang diperoleh. Dalam hal ini
penelitian mengelompokan data berdasarkan bentuk register bahasa nelayan yang
ada. Data yang diperoleh dikelompokan sesuai dengan bentuk register bahasa nelayan
yang ada dalam pembahasan. Kemudian data yang telah ada, dikelompokan,
dianalisis atau berikan penjelasan oleh peneliti kemudian disajikan.
3.4.2 metode Distribusional
Metode distribusional merupakan
reaksi terhadap metode pada yang pada umumnya dipakai di dalam linguistik
tradisional (Edi Subroto, 2007). Oleh karena itu cara kerjanya berdasarkan
logika yang bersifat spekuilatif, maka metode padan itu ditentang habis-habisan
oleh linguistik structural. Karena linguistic itu memakai metode analisis dengan
mempergunakan alat penentu di luar bahasa.
Metode distribusional menganalisis
sistem bahasa atau keseluruhan kaidah yang mengatur didalam bahasa berdasarkan
perilaku atau ciri-ciri khas kebahasaan satuan-satuan lingual tertentu. Jadi
unsur bahasa itu di analisis sesuai dengan perilaku atau tingkah laku
kebahasaannya. Dengan demikian, menganalisisnya memeberikan keabsahansecara
linguistik. Menurut Edi Subroto, (2007) disebutkan bahwa teknik-teknik analisis
yang tercakup dalam metode distribusional ialah :
1. teknik
urai unsur terkecil
2. teknik
urai unsur langsung
3. teknik
oposisi pasangan minimal dan teknik oposisi dua-dua;
4. teknik
penggantian atau subsitusi
5. teknik
perluasan (ekspanst), bai perluasanke kiri maupun ke kanan;
6. teknik
pelepas (delesi),
7. teknik
penyisipan atau interupsi;
8. teknik
pembalikan urutan (permutasi);
9. teknik
parafrasis (bandingkan Sudaryanto, 1985).
Di
bawah ini akan dipaparkanteknik yang digunakan dalam bahasa mbojo komunitas
nelaya sebagai berikut :
1.
Teknik
Urai Unsur Terkecil (Ultimate Constituent Analysis)
Teknik urai unsur terkecil adalah
mengurai suatu satuan lingual tertetu atas unsur-unsur terkecilnya.
Unsur-unsur itu merupakan unsur terkecil
dari suatu satuan karena tidak diperkecil lagi. pedoman yang digunakan untuk
menentukan morfem ialah satuan lingual terkecil yang terdapat terulang sama.
Misalnya, berlari, bernyanyi, berbicara: larikan, nyanyikan, bicarakan
bentuk-bentuk terkecil yan berulang sama secara bentuk arti ialah : “ber, lari,
nyanyian, bicara, kan” sehingga masing-masing merupak morfem.
2.
Teknik
Urai/pilah Unsur Langsung
Teknik
pilah unsur langsung ialah teknik memilah atau mengurai suatu konstruksi
tertentu (morfologi atau sintaksis) atau unsur-unsur langsungnya. unsur lansung
ialah unsur yang secara langsung membentuk konstruksi yang lebih besar yang
lebih besar atau konstruksi yang dinamis.
3.
Teknik
Oposisi
a. Teknik
Oposisi Pasangan Minimal
Teknik oposisi pasangan minimal (minimal
pairs), dipakai untuk menentukan fonem-fonem suatu bahasa ‘baik fonem segmental
maupun suprasegmental’. Pasangan minimal adalah pasangan yang berubah kata
tunggal atau akar dengan perbedaan sebuah unsur sunyi.
b. Teknik
Oposisi Dua-Dua
Teknik
Oposisi Dua-Dua adalah oposisi antara dua kategori morfologis, yang sebuah
mengandung nilai kategori tertentu yang dinyatakan dengan prosede morfologis.
Oposis dua-dua selalu terdapat anggota kategori yang lebih tertentu (definit)
karena terdapat nilai kategori yang lebih tertentu yang dinyatakan dengan alat
gramatis tertentu lawan kategori lain yang bersifat tidak tertentu atau
bersifat netral terhadap ada tidaknya nilai kategori tertentu
c. Teknik
Pergantian atau Subsitusi
Teknik
oposisi bertujuan mengatahui adanya kontras kategori (kalau yang dioposisikan
adalah kategori yang satu dengan yang lain ) atau perbedaan yang menyangkut
aspek “arti” merupakan tujuan untuk diketahui. Sedangkan teknik subsitusi
justru hendak menyelidiki adanya keparelan atau kesejajaran distribusi antara
satuan lingual atau antara bentuk linguistik yang satu dengan yang lainnya.
d. Teknik Perluasan atau Ekspansi
Teknik
perluasan atau ekspansi ialah teknik memperluas satuan lingual tertentu (yang
dikaji atau yang dibahas) dengan “unsur” atau satuan lingual tertentu baik
perluasan ke kiri atau ke kanan.
e. Teknik
Pelepasan atau Delisi (Delition)
Adalah
kemungkinanya suatu unsur atau satuan lingual yang menjadi unsur dari sebuah
kontruksi (morflogis atau fraseologis) dilepaskan atau dihilangkan serta
akibat-akibat structural apa yang terjadi dari pelesapan itu. Jadi hakikat
teknik lesap yaitu pengurangan unsur dari sebuah konstruksi.
f. Teknik
Penyisipan atau Interupsi
Adalah
kemungkinan kita menyisipkan suatu unsur atau satuan lingual tertentu terhadap
suatu satuan lingual atau terhadap suatu konstruksi yang sedang kita analisis.
Teknik penyisipan juga sering dipakai untuk mengkaji masalah kata majemuk dalam
kaitannya dengan frase, dan masalah keletatan relasi dalam sebuah frase tipe
tertentu.
g. Teknik
Pengambilan atau Permutasi
Adalah
kemungkinannya unsur-unsur (langsung) dari sebuah satuan atau konstruksi
(morfologis atau frseologis) dibalikan urutannya. Teknik bertujuan menguji
tingkat keketatan relasi antar unsur (langsung) suatu konstruksi atau satuan
lingual tertentu.
h. Teknik
Parafrasis
Adakah
teknik menyatakan secara berbeda (dalam arti normal) sebuah tuturan atau
pernyataan atau konstruksi tertentu, tetapi informasi atau isi tuturan tetapi
terjaga atau lebih kurang sama. Teknik parafrasis ialah teknik menyatakan
secara memadai atau bahkan secara sangat memadai bahasa yang ditelitinya. Oleh
karena itu teknik ini hanya mungkin dilakukan secara baik bila si peneliti
sekaliguspemakai atau pembicara asli bahasa yang bersangkutan.
Kegunaan
teknik parafrasis didalam penelitian linguistic, antara lain, ialah untuk
mengetahui bentuk-bentuk tuturan lain yang mungkin terhadap sebuah isi atau
informasi yang sama dan untuk memberikan isi atau arti granatis secara tepat
terhadap sebuah konstruksi (morfologi atau sintaksis). Sedangkan peneliti,
meneliti bentuk dan fungsi register bahasa Mbojo dalam komunitas nelayan.